MAKALAH
“Muhammad Syahrur dan
Teori Hermeneutikanya”
Disusun untuk memenuhi tugas
Qulumul Qur’an
Prodi PS Ekstensi
Dosen Pengampu : Sri Naharin,
MSI
-
Disusun oleh:
Arif
Fauzi (17.21.000299)
INSTITUT
PESANTREN MATHALI’UL FALAH
FAKULTAS
SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
PERBANKAN
SYARI’AH
2017/2018
-
A. PENDAHULUAN
Dewasa
ini, gagasan dan tuntutan untuk melakukan pembacaan sekaligus pemaknaan ulang
teks-teks primer agama Islam disuarakan dengan lantang. Tujuannya
adalah
agar teks-teks primer Islam, yang telah menjadi pedoman dan panduan lebih dari
satu
miliar umat Islam, dapat ditundukkan untuk mengikuti irama nilai-nilai
modernitas sekuler
yang didiktekan dalam berbagai bidang. Tidak
dapat dipungkiri bahwa kajian al-Qur’an dari waktu ke waktu selalu mengalami perkembangan. Perkembangan tersebut
ditandai dengan munculnya sejumlah akademisi
yang menawarkan gagasan-gagasan baru dalam metodologi pemahaman terhadap al-Qur’an. Al-Qur’an yang disebut sebagai
shalih li kulli zaman wa makan oleh Muhammad
Syahrur, sejatinya selamanya akan membisu tanpa campur tangan manusia sebagai reader. Untuk itulah, sebagai reader perlu
adanya upaya pembacaan al-Qur’an yang
komprehensif juga tidak otoritatif. Al-Qur’an sebagai kitab universal sudah semestinya tidak dimanipulasi penafsirannya dalam
segala konteks dan ruang tertentu, melainkan
bagaimana penafsiran terhadap al-Qur’an selalu beiringan dengan konteks ruang dan waktu yang sesuai dengan zamannya. Dalam perkembangan metodologi studi al-Qur’an muncul
alat bantu memahami al-Qur’an disamping tafsir, yaitu hermeneutika.
Pada
dasarnya keduanya hampir sama, bahkan
oleh sebagian orang, hermeneutika dimiripkan dengan ta’wil. Hermeneutika yang diusung seorang tokoh boleh jadi berbeda dengan
tokoh lain, tergantung pada metodologinya,
hal ini pun juga terdapat dalam setiap penafsiran. Dalam pemikirannya, Syahrur berangkat dari dua hal. Pertama, adanya
gerakan Nasserisme1 yang memproyeksikan
suatu upaya mencari cara untuk memperkokoh eksistensi dan kedudukan mereka di dunia dan masa kini yang sama sekali
berbeda dengan dunia dan masa sebelumnya.
Oleh Syahrur, gerakan ini disebut sebagai gerakan yang mengusung modernitas sebagai lawan dari gerakan tradisi.
Kedua, kekalahan bangsa Arab terhadap Israel.
Dengan kedua hal tersebut mendorong Syahrur untuk melakukan pembacaan ulang ata al-Qur’an dengan model kontemporer sebagai
respon terhadap pembacaan hegemonik, sebab,
selama ini yang terjadi dalam pemikiran Islam -meminjam istilah Nasr- adalah pembacaan repetitif bukan pembacaan produktif.
Pemahaman dan sikap secara
B. Latar Belakang
Kehadiran teks al-Qur’an di tengah
umat Islam telah melahirkan pusat pusaran wacana keIslaman yang tak pernah
berhenti dan menjadi pusat inspirasi bagi manusia untuk melakukan penafsiran
dan pengembangan makna atas ayat-ayatnya. Maka, dapat di katakan bahwa
al-Qur’an hingga kini masih menjadi teks inti (core text) dalam
peradaban Islam.
Perdebatan mengenai metode
penafsiran pun terjadi di antara para pemikir Islam. Salah satu di antaranya
adalah Muhammad Syahrur. Beliau adalah seorang pemikir liberal yang menggunakan
metode semantik untuk menafsirkan al-Qur’an. Pemikiran liberalnya muncul
dikarenakan problem modernitas, khususnya benturan antara keagamaan dengan
gerakan modernisasi Barat. Makalah ini akan membahas seputar pemikiran Muhammad
syahrur dari biografi, fase pemikiran hingga metodologi pemikirannya.
C.
Rumusan Masalah
1.
Siapakah Muhammad Syahrur?-
2.
Bagaimana cara pandang
Syahrur terhadap al-Quran?
3.
Bagaimana konsep hermeneutika Syahrur
D.
Tujuan pembahasan
1.
Untuk mengetahui tokohMuhammad Syahrur.
2.
Untuk mengetahui cara pandang / pemikiran Muhammad Syahrur
tentang al-Quran.
3.
Untuk mengetahui konsep hermeneutika al-Quran Muhammad Syahrur.
BAB II
PEMBAHASAN
E.
Berkenalan dengan Syahrur
1.
Latar belakang tokoh
Muhammad Syahrur dilahirkan
pada tanggal 11 April 1938M di Damaskus[1],
Syria.Ia merupakan anak kelima dari seorang tukang celup kain yang bernama
Daib. Sedangkan ibunya bernama Siddiqah binti Shaleh Filyun.Ia menikah dengan ‘Azizah dan dikarunia lima orang anak
yaitu Thariq (beristrikan Rihab), al-Laits (beristrikan Olga), Rima
(bersuamikan Luis), sedangkan yang dua lagi adalah aBasil, dan Mashun. Adapun
dua cucunya bernama Muhammad dan Kinan.Perhatian dan kasih sayang Syahrur
kepada keluarganya begitu besar.Hal ini terbukti dengan selalu menyebutkan
nama-nama mereka dalam persembahan karya-karyanya. Selain itu, juga tampak
dalam penyelenggaraan pernikahan anak perempuanya, Rima, yang dirayakan dengan
mengundang para tokoh-tokoh agama dan bahkan tokoh politik dari partai Bath,
partai paling berpengaruh di Syiria saat itu.
Pemikirannya sering dianggap
fenomenal sekaligus kontroversial.Sejak muda Syahrur terkenal dengan anak yang
cerdas.Dibuktikan dengan mendapatkan beasiswa dari pemerintah Syiria ke Moskow,
Rusia untuk melanjutkan kuliah di bidang Teknik Sipil (al-handasah al-madaniyyah) pada Maret 1957. Jenjang
pendidikan ini ditempuhnya selama lima tahun mulai 1959 hingga berhasil meraih
gelar Diploma (S1) pada tahun 1964. Kemudian kembali ke negara asalnya
mengabdikan diri pada Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus hingga tahun
1965. Dalam waktu yang tidak lama, Universitas Damaskus mengutusnya ke Dublin
Irlandia tepatnya di Ireland National University (al-Jami‘ah al-Qaumiyah
al-Irilandiyah)
guna melanjutkan studinya pada jenjang Magister dan Doktoral dalam bidang yang
sama dengan spesialisasi Mekanika Pertanahan dan Fondasi (Mikanika Turbat wa Asasat). Pada tahun 1969 Syahrur meraih
gelar Master dan tiga tahun kemudian, tahun 1972, beliau behasil menyelesaikan
program Doktoralnya. Pada tahun yang sama ia diangkat secara resmi menjadi
dosen Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus dan mengampu mata kuliah
Mekanika Pertanahan dan Geologi (Mikanika at-Turbat wa al-Mansya’at al-Ardhiyyah). Perlu diketahui Syahrur
tidak bergabung dengan institusi Islam manapun, dan ia juga tidak pernah
menempuh pelatihan resmi atau memperoleh sertifikat dalam ilmu-ilmu ke-Islaman.
Dari karya yang pernah
ditulisnya diantaranya, Al-Kitab wa Al-Qur’an–Qira’ah Mu’ashirah (1990), Al-Daulah wa al-Mujtama’(1994), Al-Islam wa al-Iman–Manzhumah
al-Qiyam(1996), Nahw Ushul al-Jadidah Li
al-Fiqh al-Islamy (2000),
dan Tajfif
Manabi’ al-Irhab (2008).
Dari beberapa karyanya tersebut yang paling mendapatkan perhatian yakni Al-Kitab wa Al-Qur’an –Qira’ah
Mu’ashirah (Tela’ah
Kontemporer Al Kitab dan Al-Quran) dan Nahw Ushul al-Jadidah Li
al-Fiqh al-Islamy (Metodologi
Fiqih Islam Kontemporer). Karya monumentalnya, Al Kitab wa Al Qur’an, Qira’ah Mu’ashirah (Tela’ah Kontemporer Al
Kitab dan Al-Quran) merupakan karya terbesarnya. Namun tulisannya tersebut
dibantah 15 buku dalam waktu singkat setelah terbit di Damaskus pada tahun
90-an. Sahrur
juga terbilang sering melibatkan dirinya dalam isu-isu liberalisasi syari’at
dan dekonstruksi tafsir al-Qur’an.Beberapa hukum Islam dan kaidah ilmu tafsir
dan ushul fikih didekonstruksinya dengan berbekal ilmu teknik dan mengandalkan
asal-usul keArabannya. Latar belakang lingkungan, baik pendidikan dan
pergaulannya, juga mempengaruhi cara berpikir dalam karya-karyanya.
2.
Syahrur Membicara Al-Quran
Al-Quran dalam artian popular ,
atau Syahrur menyebutnya dengan kata al-Kitab terbagi dalam tiga macam
yaitu: umm al-kitab (ayat-ayat muhkamat), al-quran wa al-sab’al matsani (ayat-ayat mutasyabihat), dan
tafsil al–kitab. Hasil interaksi imtelektusl umat islam denganummul kitab pada suatu masa bisa
berbeda dengan hasil interaksi mereka yang hidup dizaman yang berbeda. Dengan demikian
menurut syahrur, praktek penerapan hukum pada masa nabi (sunnah) hanyalah model
penafsiran , dan bukan satu-satunya bentuk aplikasi hukumummul kitab yang sesuai sepanjang
masa. Kondisi yang relatif ini kemudian disebutnya sebagai hanifiyyah. Al-Kitabia gunakan untuk
istilah umum yang mencakup pengertian seluruh kandungan teks tertulis (mushaf),
yang dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri surat al-Naas. Sementara Al-Qur’an adalah istilah khusus
yang hanya mencakup salah satu bagian dari al-Kitab yang terdiri dari ayat-ayat
mutasyabihat yang berdimensi al-nubuwwah dan bersifat istiqamah yang
berarti garis lurus, tetap, tidak berubah yang di dalamnya terkandung kumpulan
informasi dan pengetahuan tentang alam dan sejarah sehingga dapat dibedakan antara benar dan
salah pada alam wujud (realitas empiris). Jadi al-Qur’an yang berdimensi
Nubuwwah bersifat objektif di mana ia berisi kumpulan aturan hukum yang berlaku
di alam semesta dan berada di luar kesadaran manusia. Sementara Umm al-Kitab
merupakan salah satu bagian dari al-Kitab yang terdiri dari ayat-ayat muhkamat
yang berdimensi al-risalah dan bersifat hanifiyyah yang berarti penyimpangan
dari garis lurus, tidak tetap, berubah, dan elastis.Di dalamnya terkandung
kumpulan ajaran yang wajib dipatuhi manusia berupa ibadah, mu’amalah, akhlak,
dan hukum halal haram.Risalah bersifat subjektif yang berarti kumpulan aturan
hukum yang harus dijadikan sebagai bagian dari kesadaran dalam diri manusia di
dalam berprilaku.Ia juga melakukan pembedaan terhadap sejumlah pasangan atau
kelompok istilah, antara lain antara inzal/tanzil, furqan/qur’an, imam
mubin/kitab mubin, ummul kitab/lauh al-mahfuzh, qada/qadar, zaman/waqt,
mu’min/muslim, uluhiyyah/rububiyyah, dan manna/salwa. Semuanya didefinisikan
secara terpisah. - Pandangan Syahrur dalam
pengklasifikasian al-Kitab kepada al-Qur’an bersifat tetap, tidak bisa berubah
teks atau maknanya, dan tidak ada ijtihad dalam ranah tersebut. Tetapi dalam
konteks Ummul
kitab, ijtihad
tersebut terbuka lebar, meskipun kejelasan nash dzahir diperoleh (qath’i).
Dengan konsep itu, Syahrur secara blak-blakan telah mendekonstruksi konsep
ijtihad yang dipahami para ulama.Dia menyatakan bahwa, “ijtihad hanya terdapat
pada teks suci”.Adapun kaidah yang mengatakan, tidak (diperkenankan) berijtihad
tentang sesuatu yang telah disebutkan dalam teks.Ketika tidak adanya teks,
seorang penetap hukum diperkenankan menetapkan hukum menurut kesesuaiannya
dengan realitas.Jadi hasil sebuah ijtihad bisa dipandang benar dan diterima
jika seiring dengan realitas objektif pada saat melakukan pembacaan
historis.Pemahaman dan keserasian dengan realitas objektif merupakan tolok ukur
seberapa jauh penafsiran atau pembacaan hermeneutika itu benar atau salah.
3.
Konsep Hermeneutik Syahrur Dan
Aplikasinya
Hermeneutika Syahrur dari
klasifikasi istilah secara kebahasaan, menyodorkan rumusan dalam interpretasi
ayat-ayat hukum dengan memaparkan tiga teori filsafat. Pertama, kondisi berada
(dassein,
being). Kedua,
kondisi berproses (der
prozess, the process).Ketiga,
kondisi menjadi (das
warden, becoming).
Ia menyatakan, “Ketiga kata kerja (istilah) itu selalu menjadi pusat pembahasan
dalam filsafat dan landasan inti bagi semua pembahasan teologis (Tuhan),
naturalistik (alam), dan antropologis (manusia), dengan memandang bahwa
kondisi berada ataubeing adalah awal dari sesuatu
yang ada, dan proses adalah gerak perjalanan
masa, dan menjadi adalah sesuatu yang
menjadi tujuan bagi keberadaan pertama setelah melalui fase berproses. Keniscayaan antara tiga kondisi
tersebut menunjukan bahwa tidak ada kondisi yang tidak terkait dengan kondisi
lainnya. Maka dengan sendirinya, dengan relasi ketiga kondisi ini, dalam
hubungannya dengan ayat-ayat hukum, akan melahirkan hukum yang akan terus
berubah-ubah mengikuti perkembangan masa ke masa. Dengan kata lain, yang
menjadi pijakan hukum adalah kondisi khusus yang terbatasi dalam setting
sosial, bukan nash yang ada dalam ayat tersurat dalam al-Qur’an. Syahrur
menyebut kondisi perubahan hukum ini dengan hukum dialektika negatif (qanun al-nafy wa nafy al-nafy: hukum negasi dan penegasian
negasi) atau disebut juga dengan dialektika internal. Ayat-ayat hukum dalam
al-Qur’an, yang dalam bahasa Syahrur sebagai Umm al-Kitab, walaupun sifatnya
qath’i dan dipahami secara dzahir dan maknanya dengan jelas akan pula terjadi
penegasian hukum melalui proses waktu yang berputar, dan menghasilkan hukum
baru sesuai dengan kondisi dan situasi sosial zamannya yang menyebabkan
keniscayaan penafsiran yang relatif. Syahrur mendasarkan konsepnya dalam menyusun teori batas pada
Alqur’an surat an-Nisa’ ayat 13-14. Syahrur mencermati penggalan ayat ”tilka
hudud Allaah” yang menegaskan bahwa pihak yang memiliki otoritas untuk
menetapkan batasan-batasan hukum (haqq at-tasyri’) hanyalah Allah semata. Sedangkan Muhammad Saw, meskipun
beridentitas sebagai Nabi dan Rosul, pada hakekatnya otoritas yang dimiliki
Muhammad tidak penuh dan ia sebagai pelopor ijtihad dalam Islam. Hukum yang
ditetapkan Nabi lebih bersifat temporal-kondisional sesuai dengan derajat
pemahaman, nalar zaman, dan peradaban masarakat pada waktu itu, artinya
ketetapan hukum tersebut tidak bersifat mengikat hingga akhir zaman. Maka, di
sinilah kita mempunyai ruang untuk melihat Alqur’an dan berijtihad dengan
situasi dan kondisi yang dilatar belakangi ilmu pengetahuan pada masa sekarang. Syahrur berpendapat dengan
dalil fisikanya bahwa tidak ada benda yang gerakkannya dalam bentuk garis
lurus.Seluruh benda sejak dari elektron yang paling kecil hingga galaksi yang
terbesar bergerak secara hanifiyyah (tidak lurus). Oleh karena itu ketika
manusia dapat mengusung sifat seperti ini maka ia akan dapat hidup harmonis
dengan alam semesta. Demikian halnya kandungan hanifiyyah dalam hukum.
Islam yang cenderung selalu
mengikuti kebutuhan sebagian anggota masyarakat dengan penyesuaian dengan
tradisi masyarakat.Untuk mengontrol perubahan-perubahan ini maka adanya sebuah
garis lurus istiqamah menjadi keharusan untuk mempertahankan aturan-aturan
hukum yang dalam konteks inilah teori batas diformulasikan. Garis lurus bukanlah
sifat alam ia lebih merupakan karunia tuhan agar ada bersama-sama dengan
hanifiyah untuk mengatur masyarakat.
Berdasarkan kajiannya terhadap
ayat-ayat hukum, Syahrur menyimpulkan adanya enam bentuk dalam teori batas yang
dapat digambarkan dalam bentuk matematis dengan perincian sebagai berikut.
1. Halah al-had al-a’la (posisi batas maksimal).
Untuk kasus ini dapat ditemui pada QS. Al-Maidah ayat 38
mengenai pencuri.Baik
laki-laki maupun perempuan maka potonglah tangan mereka.Potong tangan disini adalah
hukuman maksimum.Karena itu hukuman untuk pencuri tidak mesti potong tangan
tetapi tergantung pada kualitas barang yang dicuri dan mempertimbangkan kondisi
saat itu.
2. Halah al-hadd al-adna(posisi batas minimal)
Dalam batas minimum ini Syahrur mencontohkan pada pelarangan dalam
al-Qur’an untuk mengawini para perempuan dalam kondisi apapun tidak
diperbolehkan meskipun telah melakukan proses ijtihad. Contoh batasan ini
terdapat dalam surat an-Nisa’: 23: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu isterimu (mertua);… Dalam kondisi apapun tidak seorang pun yang diperbolehkan menikahi
mereka yang dilarang dalam ayat tersebut, meskipun didasarkan pada ijtihad.
3. Halah al-haddayn al-a’la wa
al-adna ma’an(posisi
batas maksimal bersamaan dengan batas minimal). -Posisi ini juga disebut
dengan halah
al-mustaqim atau halah at-tasyri’ al-ayni(posisi penetapan hukum secara mutlak).Batasan ini berlaku pada
pembagian harta warisan.
4. Halah al-mustaqim(posisi lurus tanpa alternatif)
Ketentuan ini hanya terdapat
satu kasus dalam al-Qur’an pada surat an-Nur mengenai kasus penzinaan. Bagi
penzina laki-laki maupun perempuan maka deralah mereka 100 kali tidak boleh
kurang dan tidak bleh lebih.
5. -Halah al-hadd al-a’la li hadd
al-muqarib duna al-mamas bi al-hadd abadan (posisi batas maksimal cenderung
mendekat tanpa bersentuhan).
Posisi ini diterapkan dalam
batasan hubungan fisik antara laki-laki dan perempuan. Hubungan fisik terjadi
antara manusia berlawanan jenis ini bermula dari batasan terendah, berupa
hubungan tanpa persentuhan sama sekali antara keduanya dan berakhir pada
batasan paling tinggi, berupa tindakan yang menjurus pada hubungan kelamin yang
disebut zina. Ketika seseorang masih berada pada tahap melakukan tindakan yang
menjurus ke zina tetapi belum sampai pada zina itu maka ia belum terjerumus
pada batasan maksimum hubungan fisik yang ditetapkan Allah. Sebelum mereka
melakukan zina maka hukuman had Tuhan itu tidak dapat dilaksanakan kecuali
hukuman khalwat.
6. Halah al-hadd al-a’la mujaban
wa al-hadd al-adna saliban(posisi batas maksimal positif dan batas minimal negatif)
Teori batas keenam inilah yang
kita pakai dalam menganalisis transaksi keuangan.Batas tertingi dalam
peminjaman uang dinamakan dengan pajak bunga dan batas terendah dalam pemberian
adalah zakat. Garis tengah yang berada antara wilayah positif (+) dan negative
(-) adalah titik nol (batas netral). Pemberian pada wilayah nol ini adalah
peminjaman bebas bunga (qardh hasan). Wilayah ijtihad manusia,
menurut Syahrur berada di antara batas minimum dan maksimum
tersebut.Elastisitas dan fleksibilitas hukum Allah dapat digambarkan seperti
posisi pemain bola yang bebas bermain bola, asalkan tetap berada pada
garis-garis lapangan yang telah ada. Pendek kata, selagi seorang muslim masih
berada dalam wilayah hudud-ullah (ketentuan Allah antara batas minimum.
F. Kesimpulan
Nama lengkap dari pemikir Islam
liberal ini adalah Muhammad Syahrur Ibnu Dayb. Ia dilahirkan di Perempatan
Salihiyah, Damaskus, Syria pada tanggal 11 April 1938. Dalam mengkonstruk
metodologinya, Syahrur memulai langkah awalnya dengan pendekatan penidakbiasan
(demafiliarisasi) terhadap model bacaan teks-teks al-Qur’an ulama klasik.
Istilah penidakbiasan ini menggambarkan sebuah proses, yang di dalamnya bahasa
digunakan dengan satu cara yang menarik perhatian dan secara langsung dipandang
sebagai suatu cara yang tidak umum, sesuatu yang mengesampingkan (otomisasi).
G. PENUTUP
Dari
penjelasan-penjelasan di atas dapat dipahami bahwa apa yang ditawarkan Syahrur telah memberi
kontribusi besar bagi perkembangan keilmuan, terutama di bidang kajian al-Qur’an.
Dengan konsentrasi pada bidang bahasa (linguistik), seorang Syahrur yang notabene nya
sebagai insinyur teknik mampu mendalami kajian al-Qur’an sampai pada menelorkan teori
baru, yakni kajian tentang hermeneutika al-Qur’an dengan merekonstruksi
pemahaman lama yang menghegemoni kehidupan. Syahrur telah keluar dari epistemologi Islam
yang mengugat dan mendekonstruksi ushul fiqih dengan epistemologi
berlandaskan worldview (pandangan dunia) Barat yang mengedepankan rasionalitas yang
tunduk pada realitas dengan pendekatan hermeneutika. Karena menurutnya, dia
berulang kali katakan, bahwa penerapan hukum pada alam realitas adalah -aplikasi
relatif-historis. Prinsip yang ia gunakan hanya akal pikiran dengan realitas
objektif.
Wallahu A`lam.
Daftar Pustaka
Syahrur, Muhammad, Islam dan Iman:
Aturan-Aturan Pokok, (Yogyakarta:
jendela, 2002)
Shahrur, Muhammad, Metodologi Fiqh
Islam Kontemporer”,
(Yogyakarta: Elsaq Press, 2008)
Shahrur,
Muhammad,al-Kitab wa al-Qur’an : Qira’ah Mu’ashirah, (Yogyakarta;
eLSAQ Press, 2004)
Muhammad
Syahrur, Islam dan Iman: Aturan-Aturan Pokok, (Yogyakarta:
jendela, 2002) Hlm xiii
Ibid
[3] Dr. Ir. Muhammad Shahrur, al-Kitab wa al-Qur’an :
Qira’ah Mu’ashirah, (Yogyakarta; eLSAQ Press, 2004), Hlm. 46
Saya mengambil dari dalam buku terjemahan bahasa Indonesia,
Prof.Dr. Ja’far Dikki al-Bab, Prinsip dan Dasar HERMENEUTIK AL-QURAN
Kontemporer, (Yogyakarta; eLSAQ Press, 2004), Hlm. 46
Ibid, 47
Muhammad
Syahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer”,(Yogyakarta:Elsaq Press, 2008), Hlm. 17
Diskusi mata kuliah Sejarah
Perkembangan Pemikiran Islam, yang di ampu oleh bapak Nasihun Amin.
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon