Customer Toko

Muhammad Syahrur dan Teori Hermeneutikanya


MAKALAH
Muhammad Syahrur dan Teori Hermeneutikanya
Disusun untuk memenuhi tugas Qulumul Qur’an
Prodi PS Ekstensi
Dosen Pengampu : Sri Naharin, MSI

-





Disusun oleh:
Arif Fauzi                           (17.21.000299)




INSTITUT PESANTREN MATHALI’UL FALAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
PERBANKAN SYARI’AH
2017/2018
-

A.    PENDAHULUAN
            Dewasa ini, gagasan dan tuntutan untuk melakukan pembacaan sekaligus pemaknaan ulang teks-teks primer agama Islam disuarakan dengan lantang. Tujuannya
adalah agar teks-teks primer Islam, yang telah menjadi pedoman dan panduan lebih dari
satu miliar umat Islam, dapat ditundukkan untuk mengikuti irama nilai-nilai modernitas sekuler yang didiktekan dalam berbagai bidang. Tidak dapat dipungkiri bahwa kajian al-Qur’an dari waktu ke waktu selalu mengalami perkembangan. Perkembangan tersebut ditandai dengan munculnya sejumlah akademisi yang menawarkan gagasan-gagasan baru dalam metodologi pemahaman terhadap al-Qur’an. Al-Qur’an yang disebut sebagai shalih li kulli zaman wa makan oleh Muhammad Syahrur, sejatinya selamanya akan membisu tanpa campur tangan manusia sebagai reader. Untuk itulah, sebagai reader perlu adanya upaya pembacaan al-Qur’an yang komprehensif juga tidak otoritatif. Al-Qur’an sebagai kitab universal sudah semestinya tidak dimanipulasi penafsirannya dalam segala konteks dan ruang tertentu, melainkan bagaimana penafsiran terhadap al-Qur’an selalu beiringan dengan konteks ruang dan waktu yang sesuai dengan zamannya. Dalam perkembangan metodologi studi al-Qur’an muncul alat bantu memahami al-Qur’an disamping tafsir, yaitu hermeneutika.
            Pada dasarnya keduanya hampir sama, bahkan oleh sebagian orang, hermeneutika dimiripkan dengan ta’wil. Hermeneutika yang diusung seorang tokoh boleh jadi berbeda dengan tokoh lain, tergantung pada metodologinya, hal ini pun juga terdapat dalam setiap penafsiran. Dalam pemikirannya, Syahrur berangkat dari dua hal. Pertama, adanya gerakan Nasserisme1 yang memproyeksikan suatu upaya mencari cara untuk memperkokoh eksistensi dan kedudukan mereka di dunia dan masa kini yang sama sekali berbeda dengan dunia dan masa sebelumnya. Oleh Syahrur, gerakan ini disebut sebagai gerakan yang mengusung modernitas sebagai lawan dari gerakan tradisi. Kedua, kekalahan bangsa Arab terhadap Israel. Dengan kedua hal tersebut mendorong Syahrur untuk melakukan pembacaan ulang ata al-Qur’an dengan model kontemporer sebagai respon terhadap pembacaan hegemonik, sebab, selama ini yang terjadi dalam pemikiran Islam -meminjam istilah Nasr- adalah pembacaan repetitif bukan pembacaan produktif. Pemahaman dan sikap secara
B.     Latar Belakang
            Kehadiran teks al-Qur’an di tengah umat Islam telah melahirkan pusat pusaran wacana keIslaman yang tak pernah berhenti dan menjadi pusat inspirasi bagi manusia untuk melakukan penafsiran dan pengembangan makna atas ayat-ayatnya. Maka, dapat di katakan bahwa al-Qur’an hingga kini masih menjadi teks inti (core text) dalam peradaban Islam.
            Perdebatan mengenai metode penafsiran pun terjadi di antara para pemikir Islam. Salah satu di antaranya adalah Muhammad Syahrur. Beliau adalah seorang pemikir liberal yang menggunakan metode semantik untuk menafsirkan al-Qur’an. Pemikiran liberalnya muncul dikarenakan problem modernitas, khususnya benturan antara keagamaan dengan gerakan modernisasi Barat. Makalah ini akan membahas seputar pemikiran Muhammad syahrur dari biografi, fase pemikiran hingga metodologi pemikirannya.
C.    Rumusan Masalah
1.    Siapakah Muhammad Syahrur?-
2.     Bagaimana cara pandang Syahrur terhadap al-Quran?
3.    Bagaimana konsep hermeneutika Syahrur
D.     Tujuan pembahasan
1.       Untuk mengetahui tokohMuhammad Syahrur.
2.       Untuk mengetahui cara pandang / pemikiran Muhammad Syahrur tentang al-Quran.
3.       Untuk mengetahui konsep hermeneutika al-Quran Muhammad Syahrur.
BAB II
PEMBAHASAN
E.      Berkenalan dengan Syahrur
1.       Latar belakang tokoh
Muhammad Syahrur dilahirkan pada tanggal 11 April 1938M di Damaskus[1], Syria.Ia merupakan anak kelima dari seorang tukang celup kain yang bernama Daib. Sedangkan ibunya bernama Siddiqah binti Shaleh Filyun.Ia menikah dengan ‘Azizah dan dikarunia lima orang anak yaitu Thariq (beristrikan Rihab), al-Laits (beristrikan Olga), Rima (bersuamikan Luis), sedangkan yang dua lagi adalah aBasil, dan Mashun. Adapun dua cucunya bernama Muhammad dan Kinan.Perhatian dan kasih sayang Syahrur kepada keluarganya begitu besar.Hal ini terbukti dengan selalu menyebutkan nama-nama mereka dalam persembahan karya-karyanya. Selain itu, juga tampak dalam penyelenggaraan pernikahan anak perempuanya, Rima, yang dirayakan dengan mengundang para tokoh-tokoh agama dan bahkan tokoh politik dari partai Bath, partai paling berpengaruh di Syiria saat itu.
Pemikirannya sering dianggap fenomenal sekaligus kontroversial.Sejak muda Syahrur terkenal dengan anak yang cerdas.Dibuktikan dengan mendapatkan beasiswa dari pemerintah Syiria ke Moskow, Rusia untuk melanjutkan kuliah di bidang Teknik Sipil (al-handasah al-madaniyyah) pada Maret 1957. Jenjang pendidikan ini ditempuhnya selama lima tahun mulai 1959 hingga berhasil meraih gelar Diploma (S1) pada tahun 1964. Kemudian kembali ke negara asalnya mengabdikan diri pada Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus hingga tahun 1965. Dalam waktu yang tidak lama, Universitas Damaskus mengutusnya ke Dublin Irlandia tepatnya di Ireland National University (al-Jami‘ah al-Qaumiyah al-Irilandiyah) guna melanjutkan studinya pada jenjang Magister dan Doktoral dalam bidang yang sama dengan spesialisasi Mekanika Pertanahan dan Fondasi (Mikanika Turbat wa Asasat). Pada tahun 1969 Syahrur meraih gelar Master dan tiga tahun kemudian, tahun 1972, beliau behasil menyelesaikan program Doktoralnya. Pada tahun yang sama ia diangkat secara resmi menjadi dosen Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus dan mengampu mata kuliah Mekanika Pertanahan dan Geologi (Mikanika at-Turbat wa al-Mansya’at al-Ardhiyyah). Perlu diketahui Syahrur tidak bergabung dengan institusi Islam manapun, dan ia juga tidak pernah menempuh pelatihan resmi atau memperoleh sertifikat dalam ilmu-ilmu ke-Islaman.
            Dari karya yang pernah ditulisnya diantaranya, Al-Kitab wa Al-Qur’an–Qira’ah Mu’ashirah (1990), Al-Daulah wa al-Mujtama’(1994), Al-Islam wa al-Iman–Manzhumah al-Qiyam(1996), Nahw Ushul al-Jadidah Li al-Fiqh al-Islamy (2000), dan Tajfif Manabi’ al-Irhab (2008). Dari beberapa karyanya tersebut yang paling mendapatkan perhatian yakni Al-Kitab wa Al-Qur’an –Qira’ah Mu’ashirah (Tela’ah Kontemporer Al Kitab dan Al-Quran) dan Nahw Ushul al-Jadidah Li al-Fiqh al-Islamy (Metodologi Fiqih Islam Kontemporer). Karya monumentalnya, Al Kitab wa Al Qur’an, Qira’ah Mu’ashirah (Tela’ah Kontemporer Al Kitab dan Al-Quran) merupakan karya terbesarnya. Namun tulisannya tersebut dibantah 15 buku dalam waktu singkat setelah terbit di Damaskus pada tahun 90-an. Sahrur juga terbilang sering melibatkan dirinya dalam isu-isu liberalisasi syari’at dan dekonstruksi tafsir al-Qur’an.Beberapa hukum Islam dan kaidah ilmu tafsir dan ushul fikih didekonstruksinya dengan berbekal ilmu teknik dan mengandalkan asal-usul keArabannya. Latar belakang lingkungan, baik pendidikan dan pergaulannya, juga mempengaruhi cara berpikir dalam karya-karyanya.

2.    Syahrur Membicara Al-Quran
Al-Quran dalam artian popular , atau Syahrur menyebutnya dengan kata al-Kitab terbagi dalam tiga macam yaitu: umm al-kitab (ayat-ayat muhkamat), al-quran wa al-sab’al matsani  (ayat-ayat mutasyabihat), dan tafsil al–kitab. Hasil interaksi imtelektusl umat islam  denganummul kitab pada suatu masa bisa berbeda dengan hasil interaksi mereka yang hidup dizaman yang berbeda. Dengan demikian menurut syahrur, praktek penerapan hukum pada masa nabi (sunnah) hanyalah model penafsiran , dan bukan satu-satunya bentuk aplikasi hukumummul kitab yang sesuai sepanjang masa. Kondisi yang relatif ini kemudian disebutnya sebagai hanifiyyah. Al-Kitabia gunakan untuk istilah umum yang mencakup pengertian seluruh kandungan teks tertulis (mushaf), yang dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri surat al-Naas. Sementara Al-Qur’an adalah istilah khusus yang hanya mencakup salah satu bagian dari al-Kitab yang terdiri dari ayat-ayat mutasyabihat yang berdimensi al-nubuwwah dan bersifat istiqamah yang berarti garis lurus, tetap, tidak berubah yang di dalamnya terkandung kumpulan informasi dan pengetahuan tentang alam dan sejarah sehingga dapat  dibedakan antara benar dan salah pada alam wujud (realitas empiris). Jadi al-Qur’an yang berdimensi Nubuwwah bersifat objektif di mana ia berisi kumpulan aturan hukum yang berlaku di alam semesta dan berada di luar kesadaran manusia. Sementara Umm al-Kitab merupakan salah satu bagian dari al-Kitab yang terdiri dari ayat-ayat muhkamat yang berdimensi al-risalah dan bersifat hanifiyyah yang berarti penyimpangan dari garis lurus, tidak tetap, berubah, dan elastis.Di dalamnya terkandung kumpulan ajaran yang wajib dipatuhi manusia berupa ibadah, mu’amalah, akhlak, dan hukum halal haram.Risalah bersifat subjektif yang berarti kumpulan aturan hukum yang harus dijadikan sebagai bagian dari kesadaran dalam diri manusia di dalam berprilaku.Ia juga melakukan pembedaan terhadap sejumlah pasangan atau kelompok istilah, antara lain antara inzal/tanzil, furqan/qur’an, imam mubin/kitab mubin, ummul kitab/lauh al-mahfuzh, qada/qadar, zaman/waqt, mu’min/muslim, uluhiyyah/rububiyyah, dan manna/salwa. Semuanya didefinisikan secara terpisah. -            Pandangan Syahrur dalam pengklasifikasian al-Kitab kepada al-Qur’an bersifat tetap, tidak bisa berubah teks atau maknanya, dan tidak ada ijtihad dalam ranah tersebut. Tetapi dalam konteks Ummul kitab, ijtihad tersebut terbuka lebar, meskipun kejelasan nash dzahir diperoleh (qath’i). Dengan konsep itu, Syahrur secara blak-blakan telah mendekonstruksi konsep ijtihad yang dipahami para ulama.Dia menyatakan bahwa, “ijtihad hanya terdapat pada teks suci”.Adapun kaidah yang mengatakan, tidak (diperkenankan) berijtihad tentang sesuatu yang telah disebutkan dalam teks.Ketika tidak adanya teks, seorang penetap hukum diperkenankan menetapkan hukum menurut kesesuaiannya dengan realitas.Jadi hasil sebuah ijtihad bisa dipandang benar dan diterima jika seiring dengan realitas objektif pada saat melakukan pembacaan historis.Pemahaman dan keserasian dengan realitas objektif merupakan tolok ukur seberapa jauh penafsiran atau pembacaan hermeneutika itu benar atau salah.

3.    Konsep Hermeneutik Syahrur Dan Aplikasinya
Hermeneutika Syahrur dari klasifikasi istilah secara kebahasaan, menyodorkan rumusan dalam interpretasi ayat-ayat hukum dengan memaparkan tiga teori filsafat. Pertama, kondisi berada (dassein, being). Kedua, kondisi berproses (der prozess, the process).Ketiga, kondisi menjadi (das warden, becoming). Ia menyatakan, “Ketiga kata kerja (istilah) itu selalu menjadi pusat pembahasan dalam filsafat dan landasan inti bagi semua pembahasan teologis (Tuhan), naturalistik (alam), dan antropologis (manusia), dengan memandang bahwa kondisi berada ataubeing adalah awal dari sesuatu yang ada, dan proses adalah gerak perjalanan masa, dan menjadi adalah sesuatu yang menjadi tujuan bagi keberadaan pertama setelah melalui fase berproses. Keniscayaan antara tiga kondisi tersebut menunjukan bahwa tidak ada kondisi yang tidak terkait dengan kondisi lainnya. Maka dengan sendirinya, dengan relasi ketiga kondisi ini, dalam hubungannya dengan ayat-ayat hukum, akan melahirkan hukum yang akan terus berubah-ubah mengikuti perkembangan masa ke masa. Dengan kata lain, yang menjadi pijakan hukum adalah kondisi khusus yang terbatasi dalam setting sosial, bukan nash yang ada dalam ayat tersurat dalam al-Qur’an. Syahrur menyebut kondisi perubahan hukum ini dengan hukum dialektika negatif (qanun al-nafy wa nafy al-nafy: hukum negasi dan penegasian negasi) atau disebut juga dengan dialektika internal. Ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an, yang dalam bahasa Syahrur sebagai Umm al-Kitab, walaupun sifatnya qath’i dan dipahami secara dzahir dan maknanya dengan jelas akan pula terjadi penegasian hukum melalui proses waktu yang berputar, dan menghasilkan hukum baru sesuai dengan kondisi dan situasi sosial zamannya yang menyebabkan keniscayaan penafsiran yang relatif. Syahrur mendasarkan konsepnya dalam menyusun teori batas pada Alqur’an surat an-Nisa’ ayat 13-14. Syahrur mencermati penggalan ayat ”tilka hudud Allaah” yang menegaskan bahwa pihak yang memiliki otoritas untuk menetapkan batasan-batasan hukum (haqq at-tasyri’) hanyalah Allah semata. Sedangkan Muhammad Saw, meskipun beridentitas sebagai Nabi dan Rosul, pada hakekatnya otoritas yang dimiliki Muhammad tidak penuh dan ia sebagai pelopor ijtihad dalam Islam. Hukum yang ditetapkan Nabi lebih bersifat temporal-kondisional sesuai dengan derajat pemahaman, nalar zaman, dan peradaban masarakat pada waktu itu, artinya ketetapan hukum tersebut tidak bersifat mengikat hingga akhir zaman. Maka, di sinilah kita mempunyai ruang untuk melihat Alqur’an dan berijtihad dengan situasi dan kondisi yang dilatar belakangi ilmu pengetahuan pada masa sekarang. Syahrur berpendapat dengan dalil fisikanya bahwa tidak ada benda yang gerakkannya dalam bentuk garis lurus.Seluruh benda sejak dari elektron yang paling kecil hingga galaksi yang terbesar bergerak secara hanifiyyah (tidak lurus). Oleh karena itu ketika manusia dapat mengusung sifat seperti ini maka ia akan dapat hidup harmonis dengan alam semesta. Demikian halnya kandungan hanifiyyah dalam hukum.
            Islam yang cenderung selalu mengikuti kebutuhan sebagian anggota masyarakat dengan penyesuaian dengan tradisi masyarakat.Untuk mengontrol perubahan-perubahan ini maka adanya sebuah garis lurus istiqamah menjadi keharusan untuk mempertahankan aturan-aturan hukum yang dalam konteks inilah teori batas diformulasikan. Garis lurus bukanlah sifat alam ia lebih merupakan karunia tuhan agar ada bersama-sama dengan hanifiyah untuk mengatur masyarakat.
            Berdasarkan kajiannya terhadap ayat-ayat hukum, Syahrur menyimpulkan adanya enam bentuk dalam teori batas yang dapat digambarkan dalam bentuk matematis dengan perincian sebagai berikut.

1.    Halah al-had al-a’la (posisi batas maksimal).
Untuk kasus ini dapat ditemui  pada QS. Al-Maidah ayat 38 mengenai pencuri.Baik laki-laki maupun perempuan maka potonglah tangan mereka.Potong tangan disini adalah hukuman maksimum.Karena itu hukuman untuk pencuri tidak mesti potong tangan tetapi tergantung pada kualitas barang yang dicuri dan mempertimbangkan kondisi saat itu.
2.    Halah al-hadd al-adna(posisi batas minimal)
      Dalam batas minimum ini Syahrur mencontohkan pada pelarangan dalam al-Qur’an untuk mengawini para perempuan dalam kondisi apapun tidak diperbolehkan meskipun telah melakukan proses ijtihad. Contoh batasan ini terdapat dalam surat an-Nisa’: 23: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua);… Dalam kondisi apapun tidak seorang pun yang diperbolehkan menikahi mereka yang dilarang dalam ayat tersebut, meskipun didasarkan pada ijtihad.
3.    Halah al-haddayn al-a’la wa al-adna ma’an(posisi batas maksimal bersamaan dengan batas minimal). -Posisi ini juga disebut dengan halah al-mustaqim atau halah at-tasyri’ al-ayni(posisi penetapan hukum secara mutlak).Batasan ini berlaku pada pembagian harta warisan.
4.    Halah al-mustaqim(posisi lurus tanpa alternatif)
Ketentuan ini hanya terdapat satu kasus dalam al-Qur’an pada surat an-Nur mengenai kasus penzinaan. Bagi penzina laki-laki maupun perempuan maka deralah mereka 100 kali tidak boleh kurang dan tidak bleh lebih.
5.    -Halah al-hadd al-a’la li hadd al-muqarib duna al-mamas bi al-hadd abadan (posisi batas maksimal cenderung mendekat tanpa bersentuhan).
Posisi ini diterapkan dalam batasan hubungan fisik antara laki-laki dan perempuan. Hubungan fisik terjadi antara manusia berlawanan jenis ini bermula dari batasan terendah, berupa hubungan tanpa persentuhan sama sekali antara keduanya dan berakhir pada batasan paling tinggi, berupa tindakan yang menjurus pada hubungan kelamin yang disebut zina. Ketika seseorang masih berada pada tahap melakukan tindakan yang menjurus ke zina tetapi belum sampai pada zina itu maka ia belum terjerumus pada batasan maksimum hubungan fisik yang ditetapkan Allah. Sebelum mereka melakukan zina maka hukuman had Tuhan itu tidak dapat dilaksanakan kecuali hukuman khalwat.
6.    Halah al-hadd al-a’la mujaban wa al-hadd al-adna saliban(posisi batas maksimal positif dan batas minimal negatif)
Teori batas keenam inilah yang kita pakai dalam menganalisis transaksi keuangan.Batas tertingi dalam peminjaman uang dinamakan dengan pajak bunga dan batas terendah dalam pemberian adalah zakat. Garis tengah yang berada antara wilayah positif (+) dan negative (-) adalah titik nol (batas netral). Pemberian pada wilayah nol ini adalah peminjaman bebas bunga (qardh hasan). Wilayah ijtihad manusia, menurut Syahrur berada di antara batas minimum dan maksimum tersebut.Elastisitas dan fleksibilitas hukum Allah dapat digambarkan seperti posisi pemain bola yang bebas bermain bola, asalkan tetap berada pada garis-garis lapangan yang telah ada. Pendek kata, selagi seorang muslim masih berada dalam wilayah hudud-ullah (ketentuan Allah antara batas minimum.
F.      Kesimpulan
            Nama lengkap dari pemikir Islam liberal ini adalah Muhammad Syahrur Ibnu Dayb. Ia dilahirkan di Perempatan Salihiyah, Damaskus, Syria pada tanggal 11 April 1938. Dalam mengkonstruk metodologinya, Syahrur memulai langkah awalnya dengan pendekatan penidakbiasan (demafiliarisasi) terhadap model bacaan teks-teks al-Qur’an ulama klasik. Istilah penidakbiasan ini menggambarkan sebuah proses, yang di dalamnya bahasa digunakan dengan satu cara yang menarik perhatian dan secara langsung dipandang sebagai suatu cara yang tidak umum, sesuatu yang mengesampingkan (otomisasi).
G.    PENUTUP
            Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat dipahami bahwa apa yang ditawarkan Syahrur telah memberi kontribusi besar bagi perkembangan keilmuan, terutama di bidang kajian al-Qur’an. Dengan konsentrasi pada bidang bahasa (linguistik), seorang Syahrur yang notabene nya sebagai insinyur teknik mampu mendalami kajian al-Qur’an sampai pada menelorkan teori baru, yakni kajian tentang hermeneutika al-Qur’an dengan merekonstruksi pemahaman lama yang menghegemoni kehidupan. Syahrur telah keluar dari epistemologi Islam yang mengugat dan mendekonstruksi ushul fiqih dengan epistemologi berlandaskan worldview (pandangan dunia) Barat yang mengedepankan rasionalitas yang tunduk pada realitas dengan pendekatan hermeneutika. Karena menurutnya, dia berulang kali katakan, bahwa penerapan hukum pada alam realitas adalah -aplikasi relatif-historis. Prinsip yang ia gunakan hanya akal pikiran dengan realitas
objektif. Wallahu A`lam.




Daftar Pustaka
Syahrur, Muhammad,  Islam dan Iman: Aturan-Aturan Pokok(Yogyakarta: jendela, 2002)
          Shahrur, MuhammadMetodologi Fiqh Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2008)
          Shahrur, Muhammad,al-Kitab wa al-Qur’an : Qira’ah Mu’ashirah, (Yogyakarta; eLSAQ Press, 2004)



Muhammad Syahrur, Islam dan Iman: Aturan-Aturan Pokok(Yogyakarta: jendela, 2002) Hlm xiii
Ibid
[3] Dr. Ir. Muhammad Shahrur, al-Kitab wa al-Qur’an : Qira’ah Mu’ashirah, (Yogyakarta; eLSAQ Press, 2004), Hlm. 46
Saya mengambil dari dalam buku terjemahan bahasa Indonesia, Prof.Dr. Ja’far Dikki al-Bab, Prinsip dan Dasar HERMENEUTIK AL-QURAN Kontemporer, (Yogyakarta; eLSAQ Press, 2004), Hlm. 46
 Ibid, 47
Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer,(Yogyakarta:Elsaq Press, 2008), Hlm. 17
Diskusi mata kuliah Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, yang di ampu oleh bapak Nasihun Amin.

Previous
Next Post »
Thanks for your comment